Jika ragu sudah membelenggu hasilnya juga akan ragu-ragu atau tidak akan seperti yang diharapkan. Sebenarnya kalau disebut dengan “seperti yang diharapkan” juga salah karena sedari awal keragu-raguanlah yang diharap, bukannya kepastian keberhasilan atau semacamnya.
Sebagai manusia tentu aku berkelut dengan kata “itu” hampir setiap saat. Apalagi untuk hal-hal yang baru pertama kali aku lakukan dan secara spesifik untuk hal-hal yang mempunyai tingkat kompleksitas tinggi, karena memang aku orangnya rada malas menghadapi hal-hal yang terlalu kompleks, lebih suka yang praktis-praktis saja. Namun ini bukan berarti ketika aku dihadapkan pada tugas atau pekerjaan yang mempunyai kompleksitas tinggi aku tidak melakukan atau malas. Pada akhirnya aku tetap melakukan, tapi yah seringnya kepayahan.
Contohnya ketika menulis, masih saja diriku merasa ragu bahwa apakah aku berhasil untuk menyelesaikan tulisan yang aku buat atau tidak. Sekedar “membayangkan” untuk menyelesaikan tulisan saja aku sudah gagal apalagi kebenaran di lapangan?.
Jangan dibandingkan dengan kamu-kamu yang sudah khatam dalam menulis, aku masih “kasta” rendah dalam hal ini.
————
Hal yang paling lucu ketika hendak menulis adalah bermunculannya banyak kata-kata “default” yang membuatku ragu seperti salah satunya adalah keraguanku bahwa aku bukan tipe orang yang menulis panjang melainkan tipe orang yang menulis pendek, sekedar kutipan di Story IG atau WA. Jadi kurasa ini bukanlah aku. Pada akhirnya kata-kata berujung pada kalimat tanya retoris bahwa apakah aku sanggup menulis secara “panjang”?.
Sekedar informasi lanjutan bahwa aku memang sering menulis namun dalam bentuk kutipan pendek yang sering aku upload di IG atau WA Story. Bagiku menulis seperti itu bersifat langsung, to do point, tidak membutuhkan effort yang kompleks dan tentu saja praktis. Walaupun aku tahu tulisanku barangkali dimaknai secara berbeda dari apa yang aku niatkan, tapi ya sudah itu urusan si pembaca. Atau bahkan bukan lagi dimaknai, melainkan diskip cepat-cepat.
Atau barangkali itu bukan disebut tulisan, namun sekedar sampah di media sosial. Bahasanya kejam sekali buuk.
—
Aku ingin menulis seperti mengobrol, mengutarakan ide yang ingin aku utarakan dan menjauhkan niat pamrih dari segala bentuk tulisanku. Ribet kalo aku jabarkan makna “menjauhkan niat pamrih” dalam tulisan ini. Mungkin beberapa orang dapat paham maksudku, yah intinya yang paham aja.
Aku juga ingin menulis dengan sebenar-benarnya menulis, pure dan jujur tanpa berusaha menutupi segala bentuk kejelekan-kejelakan yang ada. Tentu di waktu yang akan datang tulisan akan penuh dengan niatan “politis”. Politis itu yang seperti apa?, politis itu jabarannya luas namun pada intinya politis yang kumaksud adalah tentang bersikap atau kecondongan terhadap sesuatu.
Contohin aja kali yah: Seperti aku yang tidak suka membuat konfrontasi, maka aku akan meminimalisir kata-kata yang cenderung menggiring atau kasar atau merendahkan; aku juga tidak suka berkata-kata “blak-blakan” maka pemilihan kata dari tulisan-tulisanku akan cenderung terfilter, sebenarnya ini bermuara juga karena tidak suka konfrontasi; dan apalagi yah, nanti deh kalo inget.
Soal menulis kuakui aku belum di level berkomitmen penuh atau bukan juga di level mencoba-coba. Aku lebih suka disebut di level melakukan sejadi-jadinya. Artinya aku ingin melakukan apa yang hendak aku lakukan sejadi-jadinya sampai selesai. Terus apa bedanya dengan berkomitmen penuh?. Heem, kalau dalam pemaknaanku levelnya udah lebih serius dan sudah lebih spesifik, sedangkan level melakukan levelnya memang sudah serius namun belum spesifik karena masih ada pemikiran mau diteruskan atau tidak. Berbeda yah dengan level mencoba-coba, ia hanya melakukan sekenanya saja.
Jadi dalam pemaknaanku tingkat levelnya seperti ini: Mencoba > Melakukan > Berkomitmen (versi akan bisa berbeda sejalan dengan bertambahnya ilmu dan pengalamanku)
Klaim masuk dalam level melakukan sejadi-jadinya juga klaim sepihak, hanya bisa dilihat kacamata subjektif si penulis. Tentu kalau definisinya seperti yang saya jelaskan di atas, saya masih banyak belajar.
Level-level seperti itu tidak ada kaitannya dengan keraguan walaupun ia berkomitmen atau tidak. Keraguan selalu muncul walaupun sesempurna apapun manusianya, karena ragu adalah ombak dalam diri manusia yang tiap saat bisa bergejolak tiada henti.
Aku ingin menyelesaikan tulisan ini, sungguh. Tapi rada bingung juga mengakhirinya dengan cara seperti apa. Yang jelas keraguan diawal sangat tidak menguntungkan bagi diri sendiri, lebih baik all out atau total dalam melakukan, walaupun hasilnya belum sempurna atau cenderung jelek. Seperti tulisan aku ini.
Terima kasih