Walaupun aku bukan pegiat lingkungan setidaknya kalau belanja ke minimarket selalu bawa tas belanjaan sendiri; atau ketika makan diwarteg seringnya makan ditempat, sekalipun dibungkus untuk dibawa pulang seringnya pake kotak makan; atau ketika pergi kemana-mana pun begitu, seringnya bawa botol minum sendiri agar diperjalanan tidak usah beli air minum kemasan dengan botol sekali buang.
Itu semua kulakukan dengan niatan sederhana: meminimalisir sampah plastik. Memang dampak yang dihasilkan sangat mikro, namun kalau dilakukan secara masif dalam suatu kelompok masyarakat luas akan berdampak luas juga. Kelihatan tidak praktis dan merepotkan memang, namun kalau sudah terbiasa oke-oke saja.
Kalau tidak dilakukan sekarang kapan lagi coba?. Menunggu sampai sampah plastik itu menggunung dan memberikan celah pada dampak lingkungan muncul terus menerus seperti banjir, lingkungan yang tidak sehat atau lebih lanjut menipisnya lapisan ozon (jika sampah plastik dibakar).

Aku selalu sedih melihat sungai yang kotor dengan sampah plastik. Apalagi ketika melihat orang yang dengan biasanya membuang sampah dari atas jembatan sungai. Dalam hati, keselnya minta ampun dan menyumpah rampahi aksi itu. Walaupun sih kalau dijabarkan secara luas, suka tidak suka kita pun sebenarnya terlibat dengan aksi memperburuk lingkungan (dalam hal ini dunia limbah plastik) walaupun dalam skala micro.
Tidak percaya?. Coba lihat berapa banyak sampah plastik yang kita hasilkan dari hasil konsumsi sendiri, seperti: kantong kresek, plastik snack, styrofoam tempat makan, botol minum kemasan, hingga wadah paket kiriman yang kadang dibungkus pakai plastik. Memang setelah itu dibuang ke tong sampah dan berakhir ke TPA (tempat pembuangan akhir sampah). Namun sedikit banyak tentu itu juga masih memperburuk lingkungan. Sampah plastik yang dibakar akan merusak lapisan ozon jika dilakukan terus menerus dan kalaupun dibiarkan sampah plastik menggunung tentu juga akan menjadi problematika khusus bagi masyarakat perihal ruang dan waktu lamanya terurai.
Tentu lebih baik membuang sampah ditempatnya daripada membuang sampah ke sungai yang pastinya berdampak besar bagi lingkungan, khususnya laut, tempat berakhirnya sungai mengalir.

Apakah plastik harus ditiadakan untuk mencegah lingkungan jadi makin memburuk?. Jawabannya rumit karena berkaitan dengan banyak hal, namun tentu untuk sekarang tidak bisa ditiadakan karena plastik adalah bahan baku murah yang digunakan untuk membuat komponen ini dan itu. Kalau tidak ada plastik, biaya produksi atas pembuatan komponen suatu barang jadi melambung dan tentu berimbas ke harga jual.
Hal paling realistis sekarang yang bisa dilakukan adalah upaya untuk mengurangi sampah plastik semaksimal mungkin. Tiap individu tentu perlu sadar bahwa jika konsumsi plastik tinggi akan berdampak bagi lingkungan, mau sampahnya dibuang sembarangan atau dibuang ke tempat sampah: sama saja.
Bukan waktu sebentar untuk membudayakan meminimalisir produksi sampah plastik. Butuh waktu bertahun-tahun atau berpuluh tahun untuk itu. Namun jangan patah arah, positif aja dulu.
Kesadaran tiap individu pasti berbeda-beda dan tentu perlu dorongan secara masif untuk setidaknya “menyentil” individu merasakan pengalaman meminimalisir sampah. Beberapa tahun lalu pemerintah DKI Jakarta gencar melakukan upaya meminimalisir sampah plastik, yang salah satunya yaitu dengan memberlakukan biaya kantong plastik belanjaan sebesar yang ditentukan oleh manajemen pusat perbelanjaan tersebut.
Tentu untuk masyarakat ekonomis bisa terpicu untuk tidak “membeli” kantong plastik dan lebih mengutamakan membawa tas belanjaan sendiri. Namun bagi orang-orang yang ingin praktis berbelanja dan tidak memperdulikan biaya kantong plastik, ini sama saja. Dulu aku tidak peduli apalagi kalau belanjaannya cukup banyak, mengeluarkan sekian rupiah (biasanya cuman Rp. 200 sih), nyoh aja. Dan seterusnya itu menjadi hal yang biasa. Bukan cuman aku, yang lain masih banyak.
Ditahun 2020 ini ada yang berbeda tentang larangan itu. Kalau dari yang aku baca sudah ada peraturan Gubernur tentang larangan kantong plastik belanjaan dipusat perbelanjaan, toko swalayan dan pasar rakyat pada tahun 2019. Namun ditahun itu, aku tidak merasakan secara nyata dan seringnya plastik belanjaan dikasih secara cuma-cuma atau harus bayar sekian rupiah (biasanya cuman Rp. 200 sih). Ditahun ini semua tempat perbelanjaan dan toko swalayan (yang aku kunjungi) tidak menyediakan kantong plastik belanjaan. Tentu ini hal yang menggembirakan. Untuk pasar rakyat sendiri aku belum tahu, karena jarang pake banget ke pasar.
Upaya tersebut tentu akan memunculkan budaya baru, yaitu budaya membawa tas belanjaan sendiri karena kalau belanja di pusat perbelanjaan sudah tidak disediakan lagi. Hal tersebut menjadi momentum bagi setiap individu “disentil” untuk menyelami pengalaman meminimalisir sampah plastik yang pada akhirnya bisa jadi sadar bahwa penggunaan plastik perlu diminimalisir.
Tentu kalau budaya membawa tas belanjaan sendiri itu jadi makin masif, lambat laun aku yakin bakal muncul bentuk budaya baru lain demi meminimalisir penggunaan plastik dikehidupan sehari-hari. Tinggal tunggu saja. Entah kapan.
Kalau tidak sekarang kapan lagi?



Aku bukan pegiat lingkungan. Cuman sebagai individu yang sama-sama tinggal dibumi, yah seenggaknya kita tahu diri. Walaupun secuil aja.
Terima kasih telah membaca 🙂
—Adisriyadi