Kalau boleh dikata sekarang aku ingin lebih dekat dengan kedua orang tua perihal jarak dan waktu bertemu. Tidak seperti sekarang, merantau dikota orang dengan jarak yang jauh dari tempat asal. Aku sudah tidak peduli dengan hak-hakku yang bisa jadi terbatasi ketika tinggal bersama orang tua. Dulu aku kekeh untuk merantau karena merasa hak-hakku tercerabut seperti pulang malam tidak boleh; pergi kemana-mana selalu ditanyain; atau banyak aturan yang mau tidak mau dilakuin. Ya aku tahu itu tanda perhatian mereka, namun sebagai manusia yang sedang dialiri darah muda, rasa-rasanya hal itu mengabur. Namun sekarang, hal itu sepertinya aku kesampingkan. Aku tidak terlalu peduli dengan itu. Aku ingin kembali ke masa lalu, namun bedanya dulu aku yang dirawat orang tua. Sekarang aku yang merawat mereka.
Saat ini, ketika usia mereka sudah tidak lagi muda. Orang tuaku masih berjibaku mendulang rupiah. Bangun jam 4 pagi, menyiapkan apa yang perlu disiapkan, setelah shubuh lewat mereka hengkang ke pasar untuk berjualan. Berjualannya sampai kapan?, sampe jam 4 Sore. Aktivitas itu sudah menjadi rutinitas harian sejak berpuluh tahun silam. Dikata rutinitas memang bener-bener the real rutinitas. Mereka tak pernah libur, sabtu minggu juga tetap tempur. Mereka hanya libur dihari besar tertentu, paling utamanya yah hari raya lebaran.
Sebenarnya hanya emakku yang berjualan. Bapakku hanya membantu sampe beberapa jam. Karena tentu bapakku punya profesi lainnya yang kadang memang mengharuskan datang cepat ditempat. Bapakku bekerja sebagai tukang bangunan.
Kedua orang tuaku bekerja membanting tulang dari mereka menikah, punya anak-anak sampai anak-anaknya sudah pada gede seperti sekarang masih saja mereka bekerja. Dan Ketika melihat mereka sekarang, saya jadi teramat seperti anak durhaka. Seperti telah dibesarkan lalu hengkang dari sarangnya. Tidak ada yang salah dengan itu. Tentu orang tua akan bangga jika anaknya sukses dengan jalannya masing-masing. Namun ada kegelisahan diri yang muncul, berkaitan dengan tradisi keluarga yang memang tidak merantau dan ada ungkapan yang tidak tertulis yaitu: makan gak makan kumpul.
Aku secara sadar menafikan itu. Namun sialnya secara tidak sadar aku mengamini itu. Berulang kali emak berujar untuk pulang namun aku membisu dan kalau terpaksa benar baru aku bicara agak ketus. Namun didalam hati diam-diam aku juga punya rencana untuk pulang.
Sekarang aku di ibukota, seenggaknya disebut ibukota beberapa tahun lagi. Tidak ada rencana muluk-muluk. Mengandalkan usaha dan doa. Karena aku bukan (lagi) tipe perencana. Jadi lihat aja nanti. Yang jelas preferku udah jelas.
Sialnya (saat ini) jauh dengan keluarga membuatku resah kadang-kadang. Mendengar salah satu dari mereka mengeluh demam atau pusing atau meriang Kepikirannya bukan main. Hingga tentu mempengaruhi hajat hidupku diperantauan seperti dipekerjaan atau aktivitas lainnya. Memang bapak dan ibu dikelilingi anak-anaknya yang lain yaitu beberapa rumah kakak-kakakku. Namun tetap kan seorang anak bakalan khawatir sejadi-jadinya kalo orang tua kenapa-napa.
Oleh ke-preferan itu. Aku tak berusaha untuk terlalu “nempel” dikota rerantauan ini. Seperti tak membeli barang yang banyak, mencicil rumah atau membangun ikatan batin yang terlalu jauh dengan seseorang (namun lagi-lagi kalo jodoh gak kemana wk). Agar jika nanti datang waktunya aku memutuskan pulang. Tidak repot-repot lagi buat hengkang.
Akhir kata, manusia boleh berencana Tuhan yang menentukan. Manusia begitu dinamis. Lihat aja nanti.
Terima kasih telah membaca
Semoga Bapak Ibunya sehat selalu, Mas. Relatable sekali yang ingin merantau karena dulu merasa dikekang, tapi sekarang2 jadi dikit2 ingin pulang. Salam kenal dari follower baru!
LikeLiked by 1 person
Amin. Always :). Salam rantau hehe
Salam kenal juga yaak, dari follower baru 🙂
LikeLike