Sepatah dua patah
Sebenarnya sudah tahun lalu aku selesai membaca buku ini namun entah kenapa pada akhirnya aku tidak menyeduh bukunya. Padahal bisa dibilang buku ini adalah salah satu yang aku nikmati bacaannya sampai-sampai ku rekomendasiin dan pinjemin ke temen yang suka baca buku.
Lebih baik telat deh daripada enggak sama sekali. Walaupun jika dikata jujur banyak sekali part part yang lupa lupa ingat. Hehe yawis diingat-ingat aja sekenanya. Kalaupun tidak ingat banyak juga tak apa. Toh yang penting sudah berusaha menyeduh dan berusaha membuat orang-orang tertarik untuk membaca buku ini secara keseluruhan.
Info Buku
- Judul Buku: Titik Nol (Makna Sebuah Perjalanan)
- Penulis: Agustinus Wibowo
- Jumlah Halaman: sekitar 500 halaman
- Penerbit: Gramedia
Blurb
Bagaimana jadinya ketika diri tengah berpetualang dengan gembira disuatu tempat nun jauh disana namun disaat itu pula diberi kabar bahwa orang yang disayangi sedang dalam keadaan tidak baik-baik saja dan mengharuskan mau tidak mau harus berhenti berpetualang dan pulang untuk menemui orang yang disayangi tersebut. Karena bisa jadi itu adalah waktu-waktu terakhir untuk melihat dan berbincang dengan orang yang disayangi.
Diri dibuat bimbang setelah itu pastinya jika menimbang antara pulang dan lanjut berpetualang. Sebenarnya jawabannya sudah pasti sebagai manusia yang punya hati dan perasaan terhadap orang yang disayangi: pulang untuk bertemu (dan barangkali yang terakhir). Namun melepas aksi berpetualang yang sedang asyik-asyiknya juga bukan perkara yang gampang seperti membalikkan telapak tangan.
Itu yang akan diceritakan pada buku bergenre non-fiksi ini. Sebuah buku perjalanan yang mengasyikkan sekaligus mengharukan. Karena mau tidak mau Agustinus (penulis) harus berperang dengan dirinya sendiri yang tegak berdiri tetap berpetualang atau pulang kembali bertemu Ibu yang sedang dalam keadaan tidak baik-baik saja.
Seduhan
Namanya Agustinus, penulis sekaligus pelaku dalam perjalanan panjang buku ini. Sebelum ini aku belum pernah baca buku bergenre traveling atau backpacker atau semacamnya. Menurutku ini buku yang bagus, buku yang menghantarku pada banyak hal-hal menarik dari berbagai negara seperti China, Pakistan, India, Nepal, Bhutan, Afganistan dan tibet.
Sungguh aku dibawanya berpetualang jauh dan mengetahui seluk beluk secara lebih mendalam negara tersebut. Agustinus menjabarkan bahwa berpetualang beda dengan berpindah tempat, ia menyatakan harus ada interaksi disitu, harus ada kehidupan disitu dimana membaur dengan masyarakat adalah kunci dari segala kunci.
Dari kunci tersebut Ia mempelajari beberapa bahasa dan adat istiadat dari tiap negara yang sekiranya bisa menjadi gerbang pembuka saling kenal antar sesama. Dan benar saja disetiap perjalanan Agustinus selalu memiliki kenalan atau teman untuk berbagi keluh kesah. Bagiku ini berlebihan terlalu mendramatisir. Namun aku setuju dengan apa yang disampaikannya yaitu petualangan tak hanya soal berpindah tempat namun juga menyisir dari segi hubungan antar manusianya.
Petualangan dimulai dari negara Tirai Bambu berlanjut ke negara-negara asia selatan dan berakhir ke negara yang sekiranya tak terpikirkan untuk kesana — Afghanistan. Negara penuh dengan pertikaian dengan bom sebagai primadona hidangan utama setiap saat. Namun Agustinus menyukai negara tersebut, hingga pada seri buku sebelumnya satu buku dibuatnya untuk Afghanistan, judul bukunya Selimut Debu. Padahal diawal petualangannya Agustinus hanya membayangkan bisa menginjakkan kaki ke Tanjung Harapan yang berada diujung selatan benua Afrika untuk perjalanan panjang yang direncanakan.
Namanya kehidupan, rencana seringnya berubah seiring waktu. Kutangkap dari buku ini seperti itu. Dari yang namanya senang, sedih, resah, takut dan semua jenis emosi yang membuat seorang Agustinus harus mengembang kempiskan layar untuk melaju dalam petualangannya. Pernah ia terlena dalam perjalanannya, dinegara Bhutan (kalau tidak salah) karena terlalu nyamannya dinegara tersebut (untuk para Traveller sepertinya) dan berakhir mengikisnya jiwa untuk pergi ke negara-negara selanjutnya. Pernah juga ia menjadi sasaran empuk para demonstran yang sedang marah-marahnya terhadap suatu isu agama di Pakistan.
Selain itu ia juga merubah alur gaya penulisannya yang sebelumnya sangat “textbook” dari buku menjadi lebih mengalir dan tidak melulu soal aturan dalam menulis terkhusus jurnal perjalanan. Ia pun juga sering mendapati diri kehilangan barang-barang dan uang yang mengharuskan ia memutar otak bagaimana bisa bertahan hidup dinegara orang. Dan banyak hal lain yang membuat ia merubah alur perjalanan dan hidupnya.
Sungguh perjalananan yang melelahkan yang diramu kedalam 500halaman dengan sesempilan gambar foto langsung dari cerita perjalanan yang ia jabarkan. Dengan bermodal pagi, bangku depan kos dan secangkir kopi pahit, aku seolah-olah dihadapkan langsung dengan Agustinus yang sedang menceritakan kepadaku kisah perjalanannya bulan lalu.
Banyak hal yang tak terduga dalam buku ini, kemungkinan sakit juga tidak dapat dihindari karena waktu yang panjang dari perjalanannya. Dan benar saja ditengah perjalanan di India ia terkena sakit kuning. Diawal ia tak pernah menduga bisa terkena penyakit itu. Sakit yang membuat matanya berwarna kekuningan dan badan yang lemah untuk melakukan segala macam aktivitas. Sialnya ia tak mendapat perawatan yang mumpuni dinegara tersebut dan sempat ia meracau bahwa barangkali ini adalah negara dimana ia akan menghembuskan nafas terakhir. Namun tidak pada akhirnya ia sembuh juga dan dapat melanjutkan perjalanannya.
Hal yang menarik bagiku dari semua negara adalah Pakistan. Kupikir diawal Pakistan gersang seperti di India (Bagiku India seperti itu). Namun tidak, malah sebaliknya dibagian negara tersebut ada wilayah yang dinginnya minta ampun. Dan setelah kulihat pada peta dunia ternyata pakistan berada diatas negara India dan dibawah Asia Tengah Owalah makanya negara tersebut bisa dingin dan bersalju macam itu.
Selain iklim yang tak kuduga, di Pakistan orang begitu ramah. Mereka memiliki adab dimana tamu harus diistimewakan. Pernah suatu kali Agustinus pergi ke rumah seorang disana dan diberinya makan secara istimewa (bukan makanan standart biasa) dan bukan cuman 1 atau 2 kali namun seringnya seperti itu . Kupikir ini mengada-ngada, namun tidak, direferensi lain kudapati hal yang serupa bahwa orang Pakistan memang cenderung seperti itu. Jujur aku jadi ingin ke negara tersebut (walaupun aku tahu ke luar negeri saja aku belum pernah wk).
Kalau enggak percaya bisa lihat nih video dari salah satu petualang yang ke Pakistan
Selain itu belum lagi cerita tentang suku Uighur di perbatasan negara China; Perseturuan antara Tibet dengan China yang baru kuketahui bahwa Tibet termasuk provinsi negara China, bukanlah negara yang berdiri tegak; Lalu negara Nepal dan Bhutan yang kulupa detail disana seperti apa (takut tertukar informasinya).
Dan yang terakhir adalah Afghanistan, negara dimana dering telepon itu berbunyi dan barangkali Agustinus tak akan pernah melupakan dering itu seumur hidupnya. Sebuah kabar dari Indonesia yang menginformasikan bahwa ibunya sedang kritis dirumah sakit dan bisa jadi itu adalah saat-saat terakhir untuk bertemu.
Hidup hanyalah soal memilih apa yang harus dilepas dan apa yang harus diambil untuk dilakukan.
Sebenarnya ada banyak hal menarik dari dalam buku ini yang bisa dikulik. Namun kupikir aku tidak bisa menjabarkan secara serampangan. Bukannya aku menginformasikan secara benar malah bisa jadi disinformasi atas buku ini. Jadi cukuplah seperti itu.
Kupikir ini akan jadi bacaan menarik, apalagi ketika kamu sedang dalam perjalanan menuju ke suatu tempat dengan menggunakan transportasi yang cukup memakan waktu seperti kereta atau bis. Bisa jadi akan ada celetukan setelah membaca buku ini, “Apakah sebaiknya aku pulang menengok Ibu dan Bapak?”
–Adisriyadi
Nb:
Sumber foto cover depan: GPU/ Istimewa
Disinformasi: n penyampaian informasi yang salah (dengan sengaja) untuk membingungkan orang lain:usaha subversi dapat dilakukan dengan menyusun — yang dimuat dalam media massa (sumber KBBI)
Yawis (bahasa Jawa): Ya sudah
Owalah (Bahasa Slang Jawa): Diungkapkan ketika mendengar suatu fakta tertentu, seperti kata dalam bahasa Indosia “Oh itu yah maksudnya”
Saya buka ipusnas, ketiga buku Agustinus ada di sana. Hari ini baru selesai saya baca yang Titik Nol. Asupan bergizi sekali.
LikeLike
Sangat bergizi sekali Yun hehe 😉
Wah beruntung sekali bisa baca di Ipusnas, kadang susah baca buku yang “bergizi tinggi” disitu, karena seringnya waiting list. Keren sih 👌
LikeLike